Karunia di Balik Masalah
(Reframing)
“Aduh, kenapa begini sih?!”
Mungkin kalimat ini yang sering
saya lontarkan saat saya menemukan masalah atau ada sesuatu yang tidak sesuai
dengan keinginan saya. Mengeluh konon adalah hal yang paling mudah untuk
dilakukan seseorang. Menyalahkan keadaan atau orang lain jauh lebih mudah
ketimbang bersabar atau introspeksi diri sendiri.
Contohnya saat rumah berantakan, cucian
piring menumpuk, cucian baju dan setrikaan menggunung (masalah klasik ibu-ibu
tanpa ART), saya kelelahan, dan anak mulai berulah, dan tesis saya yang njlimet
menunggu untuk diselesaikan, hal pertama yang ingin segera meluncur dari mulut
saya adalah omelan. Mengeluh dan marah pada keadaan di sekitar saya. Padahal
omelan saya tidak akan membuat semua masalah di hadapan saya beres. Bahkan
kemarahan saya malah memperparah keadaan.
Tapi semakin lama saya semakin
sadar, setiap kali saya mengeluh, ngomel, menyalahkan orang lain ataupun
keadaan, masalah saya selalu bertambah dan saya semakin menderita.
Hingga saya membaca sebuah cerita
inspiratif tentang seorang ibu yang memiliki banyak anak dan sangat marah jika
anak-anaknya mengotori karpet, karena kemarahannya sering berulang dan
membuatnya stress si ibu ini menemui seorang psikolog. Sang psikolog
mendengarkah keluhan sang ibu dan akhirnya memintanya untuk rileks dan
memejamkan mata sambil membayangkan rumah dan karpetnya yang berantakan dan
kotor karena ulah anak-anak. Seketika muka sang ibu berubah cemberut seperti ingin
marah, lalu sang psikolog menyuruhnya membayangkan rumah dan karpetnya yang
bersih dan rapi, muka sang ibu pun tersenyum senang, namun sang psikolog melanjutkan
bahwa rumah yang rapi dan bersih itu adalah karena anak-anak sang ibu telah
tiada, sang ibu langsung menangis, ia akhirnya sadar bahwa ia terlalu
memikirkan hal yang begitu remeh namun melupakan hal yang benar-benar berharga
yang harusnya ia syukuri yaitu keberadaan anak-anaknya di rumah.
Reframing. Teknik inilah yang
dilakukan sang psikolog hingga sang Ibu bisa melihat masalahnya dari bingkai
pemikiran yang berbeda sehingga sang Ibu menemukan karunia di balik masalahnya.
Saya ikutan menangis saat membaca
cerita singkat ini.
Yang saya butuhkan adalah reframing sehingga saya bisa
melihat masalah saya dengan kacamata syukur. Saya kembali melihat cucian piring
saya dan saya bersyukur artinya saya dan keluarga ada di rumah dan kami cukup makan,
lalu saya bersegera mencucinya sambil tersenyum melafazkan syukur di tiap
bilasannya. Lalu saya melihat cucian dan setrikaan saya yang menggunung,
Alhamdulillah ini berarti kami cukup sandang alias punya pakaian, meski lelah
saya menyelesaikannya dengan tersenyum. Tesis saya yang njlimet adalah tanda
bahwa saya masih diberi kesempatan belajar dan bersekolah tinggi. Saya pun
kembali membaca buku-buku dan pelan-pelan mulai menulis. Rumah berantakan
karena jadi arena bermain anak, Alhamdulillah ini artinya saya punya anak, ia
sehat hingga bisa bermain penuh semangat, dan ia ada di rumah, masih bersama
saya. Saya langsung memeluk anak saya sambil menangis penuh syukur dan meminta
maaf pada anak saya yang sempat saya marahi, dan kami pun bermain dan
membereskannya bersama.
Dan dengan syukur masalah saya semua terselesaikan. Dan
nikmat di dalam hati saya bertambah. Saat saya mengeluh, menyalahkan keadaan,
marah, alias tidak bersyukur, kiranya Allah memberikan kepedihan dalam hati
saya, dan menambah kepedihan itu dengan masalah-masalah baru yang saya
timbulkan karena sikap negative saya.
Benarlah firman Allah SWT dalam
Al Quran :
“Sungguh Kami telah memberimu nikmat
yang banyak” (QS Al Kautsar:1)
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu
memaklumkan,’ Sesungguhnya jika kamu bersyukur niscaya Aku akan menambahkan
(nikmat) kepadamu tapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka azab-Ku sangat
pedih.” (QS Ibrahim;7)
Tidak ada perjalanan naik tanpa
mensyukuri yang sudah ada (Mario Teguh). Semoga kita semua diberi kekuatan
untuk bisa melihat karunia Allah SWT di balik segala masalah yang kita hadapi. Karena
sesungguhnya Allah SWT tak henti-hentinya memberi karunia yang banyak kepada
kita semua meski kita sering lupa untuk mensyukurinya.
(Sebuah pemikiran dari seorang Ibu yang masih
terus belajar untuk mensyukuri apa-apa yang Allah SWT berikan dalam kehidupan.)
Wallahua’lam
Afie Yuliana
3/31/16